TRADISI BACA TULIS INDONESIA MINIM, MIRIS!


Tragedi Nol Buku, Pelajar Indonesia Dianggap Rabun Baca-tulis

Yang memprihatinkan lagi, Satria mengungkap, animo menonton televisi anak-anak Indonesia sangat tinggi. Yaitu 300 menit per hari atau 5 kali lipat dari anak-anak Kanada.
Tragedi Nol Buku, Pelajar Indonesia Dianggap Rabun Baca-tulis
MUH. ABDUS SYAKUR/HIDAYATULLAH.COM
(Ilustrasi) Budaya baca-tulis di Indonesia masih minim

Hidayatullah.com
–Penggagas Gerakan Literasi Sekolah, Satria Dharma menilai, perkembangan budaya literasi masyarakat Indonesia cukup memprihatinkan. Misalnya, sangat minimnya tingkat baca-tulis para pelajar. Saking parahnya, sampai-sampai pelajar Indonesia dianggap rabun membaca-menulis.
“Tahukah Anda bahwa siswa kita dianggap tidak membaca dan tidak menulis jika dibandingkan dengan sesama pelajar di negara-negara lain? Siswa kita rabun membaca dan pincang menulis, kata Taufik Ismail. Ini adalah tragedi nol buku yang telah disampaikan sejak 2005 dan tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah,” ucap Satria Dharma kepada Hidayatullah.com di Jakarta baru-baru ini.
Dari berbagai data, Satria mengungkap, kemampuan membaca siswa Indonesia begitu rendah. Sehingga, diperkirakan 70 persen anak-anak Indonesia tidak akan mampu hidup di abad 21 (Prof Iwan Pranoto, Kompas).
Dalam data UNESCO pada tahun 2012, tambah Satria, indeks baca bangsa Indonesia adalah 0,001, atau hanya 1 di antara 1000 orang.
“Begitu rendahnya kemampuan membaca dan menulis para mahasiswa kita, sehingga hampir semua dosen mereka mengeluhkan hal ini. Tapi tentu saja mengeluh semata tidak akan mengubah situasi,” ujar pria yang juga Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) ini.
“Tak ada satu pun sekolah di Indonesia yang mewajibkan siswa membaca buku sastra tertentu seperti di negara-negara lain, termasuk negara ASEAN,” tambah Satria melalui rilis resminya, Kamis, 5 Ramadhan 1435 H (3/7/2014).
Satria menilai, kurikulum pendidikan di Indonesia tidak dirancang untuk membuat anak-anak negeri ini memiliki ketrampilan literasi membaca-menulis yang memadai. Padahal, literasi penting untuk menghadapi kehidupan di abad 21.
“Sekedar perbandingan, siswa AMS, SMA di zaman Belanda, wajib menulis sebanyak 108 karangan selama SMA. Berapa banyak karangan yang harus ditulis oleh siswa kita kini?” ungkapnya.
Satria mengutip pernyataan Suparto Brata (sastrawan), “Kalau kurikulum kita diterapkan kepada siswa di Jepang, dijamin dalam 10 tahun Jepang akan mundur seperti kita.”
“Kebijakan pemerintah dalam soal perbukuan sangat tidak mendukung upaya melek literasi anak-anak kita,” tambah Satria.
Menurut Satria, hanya 10 persen keluarga Indonesia yang melakukan kegiatan membaca secara rutin di rumah. “Statistiknya hanya rekaan saja. Tapi Anda boleh membantahnya dengan menyodorkan angka statistik yang benar,” ujarnya.
Yang memprihatinkan lagi, Satria mengungkap, animo menonton televisi anak-anak Indonesia sangat tinggi, yaitu 300 menit per hari, atau 5 kali lipat dari anak-anak Kanada.
“Kita sungguh sukses menciptakan generasi penonton televisi untuk kita persembahkan pada dunia di abad 21 ini,” ujarnya.
Satria pun menawarkan solusi, untuk meningkatkan budaya literasi, Ramadhan merupakan momen memulai gerakan ini.
“(Momen itu) sangat tepat, dan memang sudah selayaknya (gerakan literasi) dimulai di bulan Ramadhan,” ujarnya, seperti diberitakan Hidayatullah.com sebelumnya.*
Editor: Syaiful Irwan

Komentar