Ramalan Jayabaya
Ramalan
Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa
yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri.
Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan
secara turun temurun oleh para pujangga .Asal Usul utama serat jangka Jayabaya
dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun
banyak keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar
yg menuliskan bahwasanya Jayabayalah yg membuat ramalan-ramalan tersebut.
"Kitab
Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut
dan takluk, tak ada yang berani."
Meskipun
demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya,
yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab
mereka: Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya,
bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya
menceritakan peperangan antara kaum Korawa danPandawa yang disebut peperangan
Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi
tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah
dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah
titisan Dewi Sri.[1]
Asal-usul
Dari
berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada
umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu,
yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang
kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun
dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarahMajapahit dan Singosari yang
ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah
sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab
Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran
Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada
tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran
yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah
"Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau
keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah
leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya
terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara
Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon
dan Nayagenggong.
Disamping
itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala
zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa
buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad
Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku
Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang,Gubernur
Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian
diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu
masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu
untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van
Hoorn.
Ketika
keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta
pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban
sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih
untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang
Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M,
yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai
Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu
berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III),
sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi
Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
Analisis
Jangka
Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang
sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3
tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab
Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir
bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti
dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut
sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman
peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M,
yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali
pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat
”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.
Sejak
Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang
dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481)
Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu
seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini
kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan
Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang
wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa
Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat
julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian
karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan
setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di
basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah
Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu
Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan
Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari
(ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan
muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah
seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di
seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat
Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun
dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti
dizaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau
dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka
lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram
sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang
Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia
oleh Sultan Agung).
Oleh
Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang
lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari
Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu
Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri.
Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal
masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis
kembali, dengan gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan
antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan
negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu
dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk
karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi
generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita
yang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber
semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi,
sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh
yang kini benama "REPUBLIK INDONESIA"!. Kedua sumber yang
diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup
diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga
Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka
Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para
pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber
perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya
karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat
ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa
karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan,
akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu
sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua
itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri
ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata
karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis
kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M)
bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan
begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
Kitab
Musasar Jayabaya
Asmarandana
1. Kitab Musarar dibuat tatkala
Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada
yang berani.
2. Beliau sakti sebab titisan
Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
3. Terkisahkan bahwa Sang Prabu
punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan.
Sangat raharja negara-nya.
4. Hal tersebut menggembirakan
Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja
pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana.
5. Lengkapnya bernama Ngali
Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang
raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
6. Setelah duduk Sultan Ngali
Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu
menge.nai Kitab Musarar.
7. Yang menyebutkan tinggal tiga
kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu
mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak
Dewata.
8. Sang Prabu segera menjadi
murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua.
Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
9. Kelak akan diletakkan dalam
teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk
menaikkan kutbah,
10. Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak
kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa
membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
11. Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat
duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
12. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung
Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
13. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata.
Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara
Wisnu..
14. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu
sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
15. Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya
bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang.
Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
16. Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki
Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh
warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
17. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam,
kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon
kajar dan kembang mojar satu bungkus.
18. Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar
menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu
waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
19. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya.
Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut.
Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
20. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian
merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
21. Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya
bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala
masih muda.
Sinom
1. Dia itu sudah diwejang
(diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia
menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa
saya tinggal 3 kali lagi.
2. Bila sudah menitis tiga kali
kemudian ada zaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana
Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang zaman Catur semune segara
asat.
3. Itulah Jenggala, Kediri,
Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia
diatas bumi. Menghancurkan keburukan.
4. Setelah 100 tahun musnah
keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada zaman lagi yang bukan milik saya, sebab
saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
5. Di dalam teken sang guru
Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman
Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
6. Lambangnya: Sumilir naga
kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa
keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
7. Sebab berperang dengan
saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir
sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti zaman di Majapahit dengan rajanya
Prabu Brawijaya.
8. Demikian nama raja bergelar
Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80
tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki
Ajar.
9. Hidangannya Jadah satu takir.
Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti zaman
lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya
bergelar Diyati Kalawisaya.
10. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang
bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa
uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
11. Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan
durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti zaman Kalajangga.
Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36
tahun kemudian musnah.
12. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung
watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu
memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti zaman di Mataram.
Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
13. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya
dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan
wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
14. Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena
pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar.
Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
15. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang
sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi
lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan
sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
16. Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal
tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di
pulau Jawa. zaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara
bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
17. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah
Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti.
Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian
berganti.
18. Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja
yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita)
kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti,
namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya
dan hukum tidak karu-karuan.
19. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris
dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger.
Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana
yang tidak dapat ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat.
Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara
Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang
Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
21. Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya
keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara.
Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang
Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu
diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
22. Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang
tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ),
sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen
datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami
lambang tersebut.
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin
naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin
menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan
negara.
24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna.
Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang
jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan
Tuhan dan orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi
hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada
tanda negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah
waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan.
Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune
Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi
Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu
Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
28. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di
Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu
dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu,
sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya
dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu
pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
Isi
Ramalan
1. Besuk yen wis ana kreta tanpa
jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
2.
Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
3.
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
4.
Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
5.
Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
6. Iku tandha yen tekane zaman
Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
7.
Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
8.
Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
9.
Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
10.
Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian lelaki.
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni
wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
12.
Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak
orang berani melanggar sumpah sendiri.
14.
Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
15.
Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
16.
Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
17.
Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak
orang hanya mementingkan uang.
19.
Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
20.
Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
21.
Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
22.
Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
23.
Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
24.
Nantang bapa--- Menantang ayah.
25.
Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
26.
Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
27.
Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
28.
Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
29.
Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman Raja tidak adil
30.
Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
31.
Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
32.
Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa
isin --- Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
34.
Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
35.
Wegah nyambut gawe --- Malas untuk bekerja.
36.
Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah.
37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka
--- Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
38.
Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
39.
Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
40.
Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
41.
Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
42.
Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
43.
Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44.
Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu.
45.
Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
46.
Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
47.
Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
48.
Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
49.
Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
50.
Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang gonta-ganti pasangan.
51.
Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
52.
Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu.
53.
Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
54.
Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
55.
Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
56.
Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
57.
Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
58.
Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
59.
Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60.
Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
61.
Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
62.
Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua.
63.
Akeh randha nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
64.
Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65.
Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang.
66.
Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
67.
Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi.
68.
Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
69.
Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
70.
Akeh laknat--- Banyak kutukan
71.
Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat.
72.
Anak mangan bapak---Anak makan bapak.
73.
Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara.
74.
Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan.
75.
Guru disatru---Guru dimusuhi.
76.
Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga.
77.
Kana-kene saya angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78.
Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
79.
Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
80.
Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi perang.
81.
Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan
utara.
82.
Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
83.
Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul---
Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
85.
Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
86.
Pengkhianat nikmat---Pengkhianat nikmat.
87.
Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna.
88.
Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
89.
Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
90.
Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
91.
Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
92.
Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara.
93.
Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
94.
Wong main akeh sing ndadi---Penjudi banyak merajalela.
95.
Akeh barang haram---Banyak barang haram.
96.
Akeh anak haram---Banyak anak haram.
97.
Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
98.
Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99.
Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
100. Akeh wong kaliren lan
wuda---Banyak orang lapar dan telanjang.
101. Wong tuku ngglenik sing
dodol---Pembeli membujuk penjual.
102. Sing dodol akal okol---Si penjual bermain
siasat.
103. Wong golek pangan kaya gabah
diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
104. Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
105. Sing telah sambat---Yang terlanjur
menggerutu.
106. Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
107. Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
108. Sing anggak ketunggak---Yang congkak
terbentur.
109. Sing wedi mati---Yang takut mati.
110. Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat
berkat.
111. Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil
tertindih
112. Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
113. Sing ngati-ati ngrintih---Yang
berhati-hati merintih.
114. Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima
bagian.
115. Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran
berpikir.
116. Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani
diikat.
117. Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong
berdendang.
118. Ratu ora netepi janji, musna
panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
119. Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi
menjadi rakyat.
120. Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil
jadi priyayi.
121. Sing mendele dadi gedhe---Yang curang
jadi besar.
122. Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
123. Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak
rumah di punggung kuda.
124. Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
125. Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
126. Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa
ketuaan mereka.
127. Pedagang adol barang saya laris---Jualan
pedagang semakin laris.
128. Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka
makin habis.
129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe
pangan---Banyak orang mati lapar di samping makanan.
130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe
sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
131. Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa
bersolek.
132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si
bengkok membangun mahligai.
133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan
kepencil---Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
134. Ana peperangan ing njero---Terjadi perang
di dalam.
135. Timbul amarga para pangkat akeh sing
padha salah paham---Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
136. Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan
makin merajalela.
137. Penjahat saya tambah---Penjahat makin
banyak.
138. Wong apik saya sengsara---Yang baik makin
sengsara.
139. Akeh wong mati jalaran saka
peperangan---Banyak orang mati karena perang.
140. Kebingungan lan kobongan---Karena bingung
dan kebakaran.
141. Wong bener saya thenger-thenger---Si
benar makin tertegun.
142. Wong salah saya bungah-bungah---Si salah
makin sorak sorai.
143. Akeh bandha musna ora karuan
lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora
karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah
haram---Banyak barang haram, banyak anak haram.
146. Bejane sing lali, bejane sing
eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
147. Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi
betapapun beruntung si lupa.
148. Isih untung sing waspada---Masih lebih
beruntung si waspada.
149. Angkara murka saya ndadi---Angkara murka
semakin menjadi.
150. Kana-kene saya bingung---Di sana-sini
makin bingung.
151. Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak
rintangan.
152. Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh
melawan majikan.
153. Juragan dadi umpan---Majikan menjadi
umpan.
154. Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang
bersuara tinggi mendapat pengaruh.
155. Wong pinter diingar-ingar---Si pandai
direcoki.
156. Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
157. Wong ngerti mangan ati---Orang yang
mengerti makan hati.
158. Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi
penyakit
159. Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi
pemukau.
160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang ---
Yang sewenang-wenang merasa enang
161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah
merasa serba salah.
162. Ana Bupati saka wong sing asor
imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
163. Patihe kepala judhi---Maha menterinya
benggol judi.
164. Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati
suci dibenci.
165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya
derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
166. Pemerasan saya ndadra---Pemerasan
merajalela.
167. Maling lungguh wetenge mblenduk ---
Pencuri duduk berperut gendut.
168. Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam
mengeram di atas pikulan.
169. Maling wani nantang sing duwe
omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
170. Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang
ajar.
171. Rampok padha keplok-keplok---Perampok
semua bersorak-sorai.
172. Wong momong mitenah sing diemong---Si
pengasuh memfitnah yang diasuh
173. Wong jaga nyolong sing dijaga---Si
penjaga mencuri yang dijaga.
174. Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin
minta dijamin.
175. Akeh wong mendem donga---Banyak orang
mabuk doa.
176. Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana
berebut menang.
177. Angkara murka ngombro-ombro---Angkara
murka menjadi-jadi.
178. Agama ditantang---Agama ditantang.
179. Akeh wong angkara murka---Banyak orang
angkara murka.
180. Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan
durhaka.
181. Ukum agama dilanggar---Hukum agama
dilanggar.
182. Prikamanungsan
di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak.
183. Kasusilan ditinggal---Tata susila
diabaikan.
184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal
budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
185. Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat
kecil banyak tersingkir.
186. Amarga dadi korbane si jahat sing
jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe
prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
188. Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
189. Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri
seperdelapan dunia.
190. Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap
semakin merajalela.
191. Wong jahat ditampa---Orang jahat
diterima.
192. Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
193. Timah dianggep perak---Timah dianggap
perak.
194. Emas diarani tembaga---Emas dibilang
tembaga
195. Dandang dikandakake kuntul---Gagak
disebut bangau.
196. Wong dosa sentosa---Orang berdosa
sentosa.
197. Wong cilik disalahake---Rakyat jelata
dipersalahkan.
198. Wong nganggur kesungkur---Si penganggur
tersungkur.
199. Wong sregep krungkep---Si tekun
terjerembab.
200. Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati
dibenci.
201. Buruh mangluh---Buruh menangis.
202. Wong sugih krasa wedi---Orang kaya
ketakutan.
203. Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi
priyayi.
204. Senenge wong jahat---Berbahagialah si
jahat.
205. Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat
kecil.
206. Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang
saling tuduh.
207. Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah
manusia semakin tercela.
208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi
sing dipilih lan disenengi---Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan
disukai.
209. Wong Jawa kari separo---Orang Jawa
tinggal setengah.
210. Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina
tinggal sepasang.
211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak
orang kikir, banyak orang bakhil.
212. Sing eman ora keduman---Si hemat tidak
mendapat bagian.
213. Sing keduman ora eman---Yang mendapat
bagian tidak berhemat.
214. Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah
dungu.
215. Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman
teka---Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.
Bait
Terakhir Ramalan Jayabaya
140. polahe wong Jawa kaya gabah diinteri\ endi sing
bener endi sing sejati\ para tapa padha ora wani\ padha wedi ngajarake piwulang
adi\ salah-salah anemani pati\
141. banjir bandang ana ngendi-endi\ gunung njeblug
tan anjarwani, tan angimpeni\ gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh
pati geni\ marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti\
142. pancen wolak-waliking jaman\ amenangi jaman edan\
ora edan ora kumanan\ sing waras padha nggagas\ wong tani padha ditaleni\ wong
dora padha ura-ura\ beja-bejane sing lali,\ isih beja kang eling lan waspadha\
143. ratu ora netepi janji\ musna kuwasa lan
prabawane\ akeh omah ndhuwur kuda\ wong padha mangan wong\ kayu gligan lan wesi
hiya padha doyan\ dirasa enak kaya roti bolu\ yen wengi padha ora bisa turu\
144. sing edan padha bisa dandan\ sing ambangkang
padha bisa\ nggalang omah gedong magrong-magrong\
145. wong dagang barang sangsaya laris, bandhane
ludes\ akeh wong mati kaliren gisining panganan\ akeh wong nyekel bendha ning
uriping sengsara\
146. wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil\
sing ora abisa maling digethingi\ sing pinter duraka dadi kanca\ wong bener
sangsaya thenger-thenger\ wong salah sangsaya bungah\ akeh bandha musna tan
karuan larine\ akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe\
147. bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret\ sakilan
bumi dipajeki\ wong wadon nganggo panganggo lanang\ iku pertandhane yen bakal
nemoni\ wolak-walike zaman\
148. akeh wong janji ora ditepati\ akeh wong nglanggar
sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng ngalap,\ tan anindakake hukuming Allah\
barang jahat diangkat-angkat\ barang suci dibenci\
149. akeh wong ngutamakake royal\ lali kamanungsane,
lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\ akeh bapa lali anak\ akeh anak
mundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga padha curiga\ kanca dadi
mungsuh\ manungsa lali asale\
150. ukuman ratu ora adil\ akeh pangkat jahat jahil\
kelakuan padha ganjil\ sing apik padha kepencil\ akarya apik manungsa isin\
luwih utama ngapusi\
151. wanita nglamar pria\ isih bayi padha mbayi\ sing
pria padha ngasorake drajate dhewe\
Bait
152 sampai dengan 156 hilang
157. wong golek pangan pindha gabah den interi\ sing
kebat kliwat, sing kasep kepleset\ sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik\
sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati\ nanging sing ngawur padha makmur\
sing ngati-ati padha sambat kepati-pati\
158. cina alang-alang keplantrang dibandhem
nggendring\ melu Jawa sing padha eling\ sing tan eling miling-miling\
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding\ eling mulih padha manjing\ akeh wong
injir, akeh centhil\ sing eman ora keduman\ sing keduman ora eman\
159. selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun\
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu\ bakal ana dewa ngejawantah\
apengawak manungsa\ apasurya padha bethara Kresna\ awatak Baladewa\ agegaman
trisula wedha\ jinejer wolak-waliking zaman\ wong nyilih mbalekake,\ wong utang
mbayar\ utang nyawa bayar nyawa\ utang wirang nyaur wirang\
160. sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa\
ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener\ lawase pitung bengi,\ parak esuk
bener ilange\ bethara surya njumedhul\ bebarengan sing wis mungkur prihatine
manungsa kelantur-lantur\ iku tandane putra Bethara Indra wus katon\ tumeka ing
arcapada ambebantu wong Jawa\
161. dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan\ wetane
bengawan banyu\ andhedukuh pindha Raden Gatotkaca\ arupa pagupon dara tundha
tiga\ kaya manungsa angleledha\
162. akeh wong dicakot lemut mati\ akeh wong dicakot
semut sirna\ akeh swara aneh tanpa rupa\ bala prewangan makhluk halus padha
baris, pada rebut benere garis\ tan kasat mata, tan arupa\ sing madhegani
putrane Bethara Indra\ agegaman trisula wedha\ momongane padha dadi nayaka
perang\ perange tanpa bala\ sakti mandraguna tanpa aji-aji
163. apeparap pangeraning prang\ tan pokro anggoning
nyandhang\ ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang\
sing padha nyembah reca ndhaplang,\ cina eling seh seh kalih pinaringan sabda
hiya gidrang-gidrang\
164. putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung
Lawu\ hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti\ mumpuni sakabehing
laku\ nugel tanah Jawa kaping pindho\ ngerahake jin setan\ kumara prewangan,
para lelembut ke bawah perintah saeko proyo\ kinen ambantu manungso Jawa padha
asesanti trisula weda\ landhepe triniji suci\ bener, jejeg, jujur\ kadherekake
Sabdopalon lan Noyogenggong\
165. pendhak Sura nguntapa kumara\ kang wus katon
nembus dosane\ kadhepake ngarsaning sang kuasa\ isih timur kaceluk wong tuwa\
paringane Gatotkaca sayuta\
166. idune idu geni\ sabdane malati\ sing mbregendhul
mesti mati\ ora tuwo, enom padha dene bayi\ wong ora ndayani nyuwun apa bae
mesthi sembada\ garis sabda ora gentalan dina,\ beja-bejane sing yakin lan tuhu
setya sabdanira\ tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa\ nanging inung
pilih-pilih sapa\
167. waskita pindha dewa\ bisa nyumurupi lahire
mbahira, buyutira, canggahira\ pindha lahir bareng sadina\ ora bisa diapusi
marga bisa maca ati\ wasis, wegig, waskita,\ ngerti sakdurunge winarah\ bisa
pirsa mbah-mbahira\ angawuningani jantraning zaman Jawa\ ngerti garise
siji-sijining umat\ Tan kewran sasuruping zaman\
168. mula den upadinen sinatriya iku\ wus tan abapa,
tan bibi, lola\ awus aputus weda Jawa\ mung angandelake trisula\ landheping
trisula pucuk\ gegawe pati utawa utang nyawa\ sing tengah sirik gawe
kapitunaning liyan\ sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda\
169. sirik den wenehi\ ati malati bisa kesiku\ senenge
anggodha anjejaluk cara nistha\ ngertiyo yen iku coba\ aja kaino\ ana
beja-bejane sing den pundhuti\ ateges jantrane kaemong sira sebrayat\
170. ing ngarsa Begawan\ dudu pandhita sinebut
pandhita\ dudu dewa sinebut dewa\ kaya dene manungsa\ dudu seje daya kajawaake
kanti jlentreh\ gawang-gawang terang ndrandhang\
171. aja gumun, aja ngungun\ hiya iku putrane Bethara
Indra\ kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan\ tumurune tirta brajamusti
pisah kaya ngundhuh\ hiya siji iki kang bisa paring pituduh\ marang jarwane
jangka kalaningsun\ tan kena den apusi\ marga bisa manjing jroning ati\ ana
manungso kaiden ketemu\ uga ana jalma sing durung mangsane\ aja sirik aja gela\
iku dudu wektunira\ nganggo simbol ratu tanpa makutha\ mula sing menangi
enggala den leluri\ aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu\ beja-bejane
anak putu\
172. iki dalan kanggo sing eling lan waspada\ ing
zaman kalabendu Jawa\ aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa\ cures
ludhes saka braja jelma kumara\ aja-aja kleru pandhita samusana\ larinen
pandhita asenjata trisula wedha\ iku hiya pinaringaning dewa\
173. nglurug tanpa bala\ yen menang tan ngasorake
liyan\ para kawula padha suka-suka\ marga adiling pangeran wus teka\ ratune
nyembah kawula\ angagem trisula wedha\ para pandhita hiya padha muja\ hiya iku
momongane kaki Sabdopalon\ sing wis adu wirang nanging kondhang\ genaha kacetha
kanthi njingglang\ nora ana wong ngresula kurang\ hiya iku tandane kalabendu
wis minger\ centi wektu jejering kalamukti\ andayani indering jagad raya\ padha
asung bhekti\
Komentar