APAKAH YANG SALAH DALAM
KEBERAGAMAAN KITA?
Melihat kenyataan di
masyarakat, asumsi yang menyatakan bahwa “kita adalah masyarakat religus,”
agaknya perlu ditinjau kebenarannya. Yang terlibat secara serius dalam upaya
menyosialisasikan nilai-nilai agama atau yang memperaktikkannya sungguh sangat
minim.
Untuk menjawab pertanyaan di
atas, agaknya terlebih dahulu kita perlu mengetahui apakah “Agama“ dan
“bagaimana beragama itu?” Dua pertanyaan yang tidak mudah dijawab oleh
ilmuan.
Kata
Dîn dalam bahasa Al-Quran, seringkali dipersamakan dengan kata agama. Kata
tersebut terdiri dari tiga huruf hija’iyah yaitu dâl, yâ’, dan nûn. Bagaimanapun cara
anda membacanya, maknanya selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak, yang
satu lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Seperti dain
yang berarti utang, atau dîn
yang berarti balasan dan
kepatuhan, serta hubungan antara manusia di tempat rendah dengan Allah Yang Maha
Tinggi.
Oleh karena itu, merumuskan
definisi agama pun tidak mudah—kalau tidak dikatakan “mustahil”—bagi ilmuan,
yang ingin memberi batasan yang tepat dan menyuluruh. Lebih-lebih lagi jika
kita menyetujui pandangan filosof Inggris, John Locke (1632-1704 M.), yang
menyatakan bahwa “Agama bersifat khusus, pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan
mustahil bagi selainku, memberi aku petunjuk, jika jiwaku sendiri enggan
menerima petunjuk itu.”
Memang, sebagian pakar telah
berusaha menggambarkannya. “Agama adalah pengetahuan tentang Tuhan dan upaya
meneladani-Nya,” kata Seneque (2-66 M). “Agama adalah pengabdian kemanusiaan,”
kata Auguste Comte (1798-1857 M). “Agama adalah sekumpulan petunjuk Ilahi yang
disampaikan melalui nabi/rasul untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dan
mengantar penganutnya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat,” demikian tulis Mahmud
Syaltut ( 1960 M). “Beragama adalah menjadikan semua kewajiban kita adalah
perintah-perintah Tuhan yang suci dan harus dilaksanakan,”begitu menurut
Immanuel Kant (1724-1804 M).
Dalam rangka menjawab
pertanyaan di atas mungkin tidak keliru kiranya kalau dikatakan bahwa agama adalah hubungan yang dirasakan antara
jiwa manusia dan satu kekuatan Yang Maha
Dahsyat, dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna, dan mendorong
jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pengabdian itu
dilakukan baik karena takut maupun karena berharap memperoleh kasih-Nya yang
khusus, atau bisa juga karena dorongan kagum dan cinta. Jika demikian, untuk
bisa disebut “beragama”, maka paling tidak ada tiga hal yang harus terpenuhi.
Pertama: Merasakan dalam
jiwa tentang kehadiran satu kekuatan Yang Maha Agung, Yang Mencipta dan Mengatur Alam Raya. Kehadiran-Nya itu
bersifat sinambung, bukan saja pada saat seseorang berada di tempat suci,
tetapi setiap saat, baik ketika manusia sadar, maupun saat ia terlena atau
tidur; saat ia hidup di dunia ini, maupun setelah kematiannya.
Kedua: Lahirnya dorongan
dalam hati untuk melakukan hubungan dengan kekuatan tersebut, suatu hubungan
yang terpantul dalam ketaatan melaksanakan apa yang diyakini sebagai perintah
atau kehendak-Nya, serta menjauhi larangan-Nya
Ketiga: Meyakini bahwa Yang
Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti akan memberi balasan dan ganjaran
sempurna pada waktu yang ditentukan-Nya. Dengan kata lain, keyakinan ini
merupakan cerminan kepercayaan tentang adanya hari pembalasan, hari kemudian.
APA YANG SALAH?
Agaknya terdapat kesalahan
dalam ketiga unsur pokok keberagamaan
yang disimpulkan di atas. Pertama, kita belum mengenal siapa Tuhan,
apalagi mampu meneladani-Nya, sesuai kemampun kita sebagai makhluk. Kita diberi
potensi oleh-Nya untuk mengenal dan meneladani-Nya, tetapi jangankan
meneladani-Nya, mengenal sifat-Nya yang paling dominan pun belum. Berapa
banyakkah di antara kaum Muslim yang memahami arti Rahmân dan Rahîm yang sering
diterjemahkan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Rahmân
adalah pelimpah kasih sempurna di dunia bagi semua makhluk termasuk
binatang dan manusia durhaka, dan Rahîm adalah Pelimpah kasih di akhirat bagi
yang taat.
Tuhan Maha Pemaaf, atau
paling tidak menangguhkan siksa, untuk memberi kesempatan kepada pendurhaka
melakukan introspeksi, tetapi kita sering kali dengan cepatnya mengutuk dan
menghukum orang yang “dianggap” durhaka. Tuhan memberi manusia kebebasan
memilih, tetapi kita tidak meneladani-Nya dan malah memaksa pihak lain sehingga
kita seperti lebih bersemangat dari Tuhan atau ingin menandingi-Nya.
Sebelum Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bagaimana hukum-hukum keagamaan,
beliau terlebih dahulu memperkenalkan Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang
indah. Dia adalah Rab (Tuhan
Pemelihara), Dia adalah Pencipta alam semesta, dan Dia adalah
al-Akram (Maha Pemurah). Itulah
yang pertama kali diperkenalkan dalam wahyu pertama. Tuhan dilukiskan dalam
sifat kemurahan-Nya itu sebagai: “Yang Maha Pemurah dengan pemberian-Nya, Maha
luas dengan anugerah-Nya, Dia yang bila
berjanji, menepati janji-Nya, bila memberi melampaui batas harapan
pengharap-Nya. Tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada
kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia yang bila “kecil hati“,
menegur tanpa berlebih. Tidak mengabaikan siapapun yang berlindung kepada-Nya.
Dia yang bergembira dengan diterimanya anugerah-Nya, serta yang memberi sambil
memuji yang diberi-Nya, Dia bahkan
memberi siapa yang mendurhakai-Nya
Sungguh indah sifat yang satu ini.
Demikian juga sifat-sifat lain-Nya.
Kehadiran Tuhan dalam
kehidupan sebagian kaum beragama, baru terasakan ketika berada di tempat-tempat
peribadatan. Ini pun boleh jadi asumsi yang berlebihan. Adapun kehadiran-Nya di
luar itu, maka agaknya jauh panggang
dari api, jauh harapan dari kenyataan yang umum.
Ini hal pertama yang harus
diluruskan dalam kehidupan beragama kita, dan itu dimulai dengan mengenal dan
memperkenalkan-Nya kepada peserta didik dan masyarakat kita, agar mereka mau
meneladani-Nya.
Kedua, dalam hal mematuhi
ketentuan-ketentuan-Nya, kita sering kali lupa bahwa ketentuan-ketentuan-Nya
adalah sarana mendekatkan diri kepada-Nya. Ia juga bisa menjadi media
pemeliharaan diri dari dosa dan pelanggraan sekaligus prasyarat bagi lahirnya
kemaslahatan pribadi dan masyarakat. Ketentuan-ketentuan itu memiliki bentuk
formal yang tidak boleh diabaikan, tetapi pada saat yang sama memiliki
substansi yang harus selalu menyertainya. Tanpa substansi itu, maka pelaksanaan
perintah-Nya tidak memberi bekas di dalam jiwa. Shalat, misalnya, dalam
pandangan hukum agama adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam. Tetapi ia juga memiliki substansi yang bila
diabaikan, maka pelakunya terancam dengan kecelakaan (Celakalah orang-orang
yang shalat, yaitu mereka yang lengah terhadap (substansi) shalat mereka (Q.S.al-Mâ’ûn
[107] : 4.). Substansi shalat
adalah perwujudan makna kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah.
Substansi itu juga menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya, yang jika bisa
bergabung dalam jiwa manusia, ia memperoleh kekuatan yang bersumber
dari-Nya Kalau substani shalat
seperti itu adanya, wajarkah manusia bermuka dua ketika melakukannya? Mereka
yang berbuat demikian berarti tidak menghayati arti shalatnya dan lalai dari
tujuannya.
Yang melaksanakan shalat
adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendambakan bantuan-Nya, -karen
shalat berarti doa - kalau demikian wajarkah yang butuh ini, menolak membantu
sesamanya yang butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan? Tidakkah ia mengukur
dirinya dan kebutuhannya kepada Tuhan?
Jika ia enggan memberi pertolongan, maka pada hakekatnya ia tidak
menghayati arti dan tujuan shalat, seperti yang diuraikan diatas.
Kita seringkali menduga
bahwa hanya yang tidak melaksanakan tuntunan-Nya yang berkaitan dengan ibadah
ritual yang dinilai tidak beragama, padahal secara tegas dinyatakan dalam kitab
suci Al-Quran bahwa: Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama?Itulah dia yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin.
Q.S. al-Ma’un [107 : 1-2-3].
Mungkin penjelasan ayat di
atas tentang siapa yang mendustakan agama mengagetkan sebagian orang, karena
selama ini yang populer dari pengertian tidak beragama bukan seperti itu,
tetapi apa yang dinyatakan ayat itulah
salah satu hakikat dan substansi
yang terlupakan.
Hakikat pembenaran agama
bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah
perubahan positif dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan
terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan
pelayanan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia
kalimat-kalimat yang hanya dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah
karya-karya nyata, yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu, sebab kalau
tidak, maka itu semua hampa tidak berarti dan tidak dipandang-Nya
Ayat di atas, menegaskan
hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Tuhan. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan, bahwa kewajiban dan
tuntunan agama yang ditetapkan Allah, sedikit pun tidak bertujuan kecuali untuk
kemaslahatan seluruh makhluk, khususnya ummat manusia. Allah menghendaki di
balik kewajiban dan tuntunan itu
keharmonisan hubungan antar seluruh makhluk-Nya demi kebahagiaan mereka
di dunia dan di akhirat.
Kesalahan kita dalam bidang
ini adalah terlalu memperhatikan sisi formal dan melupakan substansi, bahkan
yang lebih salah lagi adalah sebagian kita menjadikan hukum-hukum agama sebagai
Tuhan, sehingga mungkin tidak keliru jika ada yang menyatakan bahwa:”Kita telah
menciptakan berhala baru, dan menempatkannya sebagai Tuhan.” Berhala baru itu
adalah hukum-hukum formal agama. Dan yang lebih buruk lagi adalah bahwa
tuhan itu tidak menyadang sifat kasih dan sangat
otoriter. Atas namanya kita
seenaknya menjatuhkan sanksi, padahal
Tuhan Yang berhak disembah memberi toleransi.
Kitab suci Al-Quran
menegaskan bahwa: Allah menghendaki kemudahan buat kamu dan tidak mengehendaki
kesulitan (Q.S. al-Baqarah [2]:185), dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan buat kamu dalam soal agama sedikit
kesempitan (Q.S. al-Haj
[22] :78).
Tetapi sebagian kemudahan
yang dianugerahkan itu kita pesempit. Kita menuntut atas nama hukum agama bahwa
ketetapan hukum harus dilaksanakan apapun dan bagaimanapun situasi
yang dihadapi. Padahal rumus agama
menyatakan: “Apabila sesuatu telah menyempit, maka ia menjadi mudah” ( yakni
dengan dibolehkan sesuatu yang tadinya terlarang).
Ketiga, dalam hal
kepercayaan tentang adanya hari kemudian, terasa bahwa kita seringkali melupakannya.
Yang dipercaya hanya yang di sini dan
kini (yang sekarang). Tidak ada kata
sebentar apalagi hari esok, sehingga lahirlah dalam kehidupan sebagian di
antara kita “budaya mumpung”. Satu sikap
yang sepenuhnya bertentangan dengan kepercayaan tentang adanya hari esok, yang
dekat dan jauh.
Melihat kenyataan yang ada
di masyarakat, maka asumsi yang
menyatakan bahwa “Kita adalah masyarakat religus,” agaknya merupakan sesuatu
yang perlu ditinjau kebenarannya. Yang terlibat
secara serius dalam upaya menyosialisasikan nilai-nilai agama atau yang
memperaktikkannya sungguh sangat minim jika dibandingkan dengan mereka yang
menyosialisasikan nilai-nilai buruk. Salah satu yang dapat dijadikan tolok ukur
adalah media massa
kita. Perhatikanlah apa yang ditayangkan dan informasi yang disebarluaskan,
lalu tanyakanlah rating masing-masing. Memang masih terlalu banyak kesalahan
kita, sehingga wajar jika krisis yang kita alami belum kunjung teratasi.
Wallâhu A‘lam.
Sumber :
Ditulis sendiri oleh M.
Quraish Shihab.
Komentar